Politisasi Isu Sara Dalam Pemilu

Politisasi Isu Sara Dalam Pemilu

Pemilihan presiden dan wakil tahun 2024 sudah dekat, pada perhelatan demokrasi tersebut akan banyak sekali cara-cara yang akan di lakukan dalam memenangkan calon yang akan diusung, baik cara yang baik maupun cara kotor sekalipun. Untuk itu kita perlu melihat kebelakang terlebih dahulu, khususnya Pilkada DKI Jakarta, lalu kenapa harus DKI Jakarta? kembali ke judul, Isu sara. karena Pilgub DKI Jakarta Tahun 2017 masif terhadap penggunaan isu sara.

"SARA" adalah singkatan dari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. Dalam konteks politik, isu SARA merujuk pada ketegangan atau konflik yang muncul karena perbedaan suku, agama, ras, atau golongan di Indonesia. Isu SARA telah menjadi hal yang sensitif dan sering kali menjadi sumber potensi konflik dan kerusuhan sosial di negara ini.

Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 diikuti oleh tiga pasangan calon. Pasangan pertama adalah Agus-Sylvi, pasangan kedua adalah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – Djarot Syaiful Hidayat, dan pasangan ketiga adalah Anies Baswedan – Sandiaga Uno. Pilkada DKI Jakarta 2017 terdiri dari dua putaran, di mana pada putaran kedua, pasangan kedua dan ketiga kembali bertarung untuk merebut jumlah suara di DKI Jakarta.

Selama putaran pertama dan kedua Pilkada DKI Jakarta 2017, banyak masyarakat dari berbagai daerah di luar Jakarta turut menyoroti perhelatan tersebut. Bahkan Kompas.com memberitakan bahwa Pilkada DKI Jakarta dianggap seolah-olah seperti pemilihan presiden (Tashandra, 2017). Selain itu, banyak tokoh politik yang terlibat dalam proses Pilkada DKI Jakarta, sebagaimana yang diberitakan oleh Kompas.com. Dalam perhelatan demokrasi ini, isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) sangat kental dan tidak jarang menimbulkan konflik.

Salah satu faktor yang mempengaruhi konflik adalah salah satu calon gubernur (cagub) yang berasal dari kelompok minoritas, ditambah lagi terdapat cagub lain yang terbentur pada kasus dugaan penistaan agama mayoritas. Akibatnya, konflik berkaitan dengan SARA, terutama yang berkaitan dengan agama, tidak dapat dihindari. Ketua Badan Pengawas Pemilu, Muhammad, menyatakan bahwa Pilkada DKI Jakarta 2017 paling rentan terjadi konflik yang dipicu oleh isu SARA (Erdianto, 2016). Bahkan seorang pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, berpendapat bahwa konflik isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta sangat berbahaya. Konflik tersebut dapat berdampak pada kerukunan dan keutuhan bangsa Indonesia yang memiliki masyarakat multikultur (Hidayatullah, Arsito, dan Tanjung, 2017).

Salah satu isu utama yang mencuat dalam kampanye dan pemilihan gubernur DKI Jakarta saat itu adalah tentang agama dan etnis. Peristiwa ini terjadi selama masa kampanye dan pascapemilihan yang melibatkan calon gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang juga dikenal sebagai "Ahok."

Berikut adalah beberapa poin terkait isu SARA yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2017:

  1. Penghujatan Agama: Isu utama dalam kampanye ini berkaitan dengan penghujatan agama. Ahok yang merupakan seorang penganut Kristen dan keturunan Tionghoa dihadapkan pada tuduhan menista agama Islam. Tuduhan ini muncul akibat pernyataan Ahok dalam sebuah pertemuan di Pulau Pramuka, yang diinterpretasikan oleh beberapa pihak sebagai penghujatan terhadap agama Islam. Isu ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan kontroversi yang besar.
  2. Demonstrasi Massal: Tuduhan penghujatan agama oleh Ahok memicu demonstrasi massal yang diikuti oleh sejumlah kelompok Islam konservatif. Demonstrasi-demonstrasi ini menuntut penuntutan hukum terhadap Ahok atas dugaan penistaan agama.
  3. Pengadilan dan Kepemimpinan Sementara: Ahok akhirnya disidang dan diadili dalam kasus dugaan penistaan agama. Pada Mei 2017, ia dijatuhi hukuman penjara dua tahun atas dakwaan penistaan agama.
  4. Dampak Pemilu dan Isu Identitas: Isu SARA ini menciptakan perpecahan di antara masyarakat Jakarta dan Indonesia secara keseluruhan. Pemilihan gubernur DKI Jakarta menjadi perwakilan penting bagi seluruh Indonesia, dan isu SARA yang terjadi pada Pilgub ini mencerminkan bagaimana politik identitas dapat mempengaruhi dukungan pemilih dan menggalang massa.
  5. Respon Masyarakat dan Isu Kebebasan Beragama: Isu penghujatan agama yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta menimbulkan pertanyaan tentang kebebasan beragama dan keberagaman di Indonesia. Isu-isu seputar hak asasi manusia dan hak kebebasan beragama menjadi sorotan.

Menangkal isu SARA dalam pemilihan umum di Indonesia merupakan tugas penting bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat didalmnya, termasuk pemerintah, lembaga pemilu, partai politik, masyarakat sipil, dan masyarakat secara keseluruhan. Beberapa langkah berikut mungkin dapat diambil untuk menangkal isu SARA dalam pemilihan umum 2024 nanti:

  1. Penegakan Hukum: Pemerintah harus melaksanakan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran terkait isu SARA. Penyebaran kebencian, diskriminasi, dan ujaran kebencian harus ditindak dengan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
  2. Pendidikan dan Penyuluhan: Pendidikan tentang toleransi, pluralisme, dan keragaman budaya dan agama harus dipromosikan di sekolah dan dalam masyarakat secara luas. Penyuluhan tentang bahaya dan dampak negatif dari politisasi isu SARA juga harus disampaikan kepada masyarakat.
  3. Kesadaran Publik: Masyarakat harus diberdayakan dengan informasi yang akurat dan terpercaya tentang isu-isu yang sebenarnya, bukan propaganda berbasis isu SARA. Masyarakat juga perlu menyadari betapa pentingnya persatuan dan kerukunan dalam membangun bangsa.
  4. Pengawasan Media dan Media Sosial: Pengawasan media dan media sosial perlu ditingkatkan untuk mencegah penyebaran berita palsu, hoaks, dan konten berbasis kebencian yang dapat memperkuat isu-isu SARA.
  5. Kode Etik bagi Partai Politik: Partai politik harus menghormati prinsip keberagaman dan tidak memanfaatkan isu-isu SARA sebagai alat politik untuk memperoleh dukungan.
  6. Kampanye yang Berbasis Kebijakan: Calon dan partai politik harus memfokuskan kampanye mereka pada permasalahan nyata dan kebijakan yang relevan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan pada isu-isu SARA.
  7. Dialog dan Kolaborasi Antar-Kelompok: Mendorong dialog, kolaborasi, dan pertemuan antar-kelompok masyarakat dapat membantu memperkuat kesadaran tentang persamaan dan nilai-nilai bersama di antara berbagai kelompok.
  8. Peran Lembaga Pemilu: Lembaga pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus secara aktif mengawasi proses pemilihan dan mengambil tindakan tegas terhadap pelanggaran terkait isu SARA.

Dalam memerangi isu SARA, peran aktif semua pemangku kepentingan dan masyarakat secara keseluruhan sangatlah penting. Kehadiran kesadaran, pendidikan, dan kerja sama untuk menghargai keberagaman akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

No comments: